Ilustrasi Dua kelompok warga yang terlibat saling serang dengan menggunakan senjata tradisional panah di Kampung Mimika Gunung Distrik Kuala Kencana (Jubi/Istimewa) |
Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 24 mei 2014, ada sebuah artikel berita di salah satu media online Papua (www.tabloidjbubi.com) yang memuat tentang Penyelesaian Konflik yang terjadi di Mimika, Papua.
Dalam artikel berita yang diberi judul " Penyelesaian Damai Konflik Djayanti Butuh Rp. 60 Miliar" ini, dijelaskan tentang pernyataan seorang ketua Lembaga Masyarakat Adat ( LMA ), Lenius Kogoya, S.Th., M.Hum, yang mengklaim telah memfasilitasi penyelesaian konflik atara dua kelompok yang sedang bertikai dan menyatakan bahwa untuk menyelesaikan konflik yang sedang berlangsung, maka dibutuhkan dana sebesar Rp.60 Miliar, untuk diberikan kepada kedua bela pihak yang bertikai.
Berikut pernyataan Lenius Kogoya, S.Th., M.Hum (Ketua LMA) yang kami kutip dari www.tabloidjubi.com " kedua belah pihak telah bersepakat untuk berdamai, rabu(21/5) pagi, saya bertemu dengan warga dari suku Dani, dan siangnya saya ketemu dengan warga dari suku Moni, dan mereka sepakat untuk berdamai, karenanya, sesuai dengan permintaan kedua belah pihak, baik suku Dani dan suku Moni, masing-masing Rp. 30 Miliar. Total keseluruhan dana yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik ini sebesar Rp.60 Miliar".
Melihat kutipan pernyataan dari seorang Ketua Lembaga Masyarakat Adat di atas, maka saya berfikir bahwa cara penyelesaian konflik yang dilakukan oleh LMA adalah cara penyelesaian yang kurang baik dan kurang mendidik. Coba kita analisa secara baik, dan kembali berkaca dari kejadian serupa yang pernah terjadi di daerah yang sama, dimana cara penyelesaian yang digunakan selalu saja dengan cara memberikan sejumlah dana yang begitu besar kepada kedua kubu yang sedang bertikai, namun nyatanya konflik serupa masih terus kembali terulang di daerah yang sama, maka saya rasa jika kita terus menerus menggunakan cara-cara seperti ini dalam penyelesaian konflik di daerah Mimika ataupun daerah-daerah lain di Papua, maka saya justru berfikir bahwa kita sendirilah yang telah menanamkan benih-benih konflik, yang akhirnya akan menimbulkan konflik baru yang lebih besar lagi.
Penyelesaian konflik dengan cara seperti ini sangatlah berdampak sangat buruk dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat, sebab dengan cara seperti ini, justru akan memberikan motifasi baru bagi terciptanya konflik baru, yang memang sengaja diseting oleh oknum-oknum tertentu, demi memenuhi ambisi mereka, dengan mendapatkan berbagai keuntungan dari konflik yang terjadi.
Untuk itu, dengan melihat kondisi dan sejarah panjang terjadinya konflik yang berulang-ulang kali di daerah yang sama, maka saya bersepakat jika pihak-pihak terkait, dalam hal ini LMA yang hadir sebagai mediator agar dapat mengemukakan cara lain, seperti mencari aktor-aktor yang sedang bermain dan mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi, dan menurut saya sebenarnya LMA sangatt tahu betul siapa aktor dan otak-otak yang bermain dan sedang mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi, dan untuk itu, saya pikir LMA harus jujur dan mampu menuntaskan masalah ini sampai ke akar-akarnya, agar konflik serupa tidak lagi terjadi.
Post a Comment
Silahkan Berikan Komentar Anda Seputar Artikel - Artikel Ini di Sini !