Renungan "Penderitaan Rakyat Papua"


Sebelum hadir bangsa-bangsa asing dari luar yang menginginkan kekayaan SDA Papua, keberadaan penduduk pribumi (asli) negeri ini telah ribuan tahun berdiam dengan menikmati sepuasnya hasil hutan, dusun sagu, hewan buruan dan hasil laut, termasuk menghirup udara kebebasan yang diberikan Tuhan pencipta langit dan bumi. Namun dengan hadinrya bangsa-bangsa asing penakluk (conqueror) dan penjajah (colonial) yang tergiur SDA Papua, maka sejak itulah dimulainya fase penindasan dan penderitaan berkepanjangan bagi Rakyat Bangsa Papua hingga hari ini. Sejak awal orang Papua dianggap sebagai manusia “primitif” dan terbelakang sehingga tidak layak menjadi bangsa merdeka (memiliki negara sendiri).

Dengan begitu, berbagai upaya konspirasi dilakukan dengan latar belakang kepentingan ekonomi, imperialisme dan kepentingan geo politik dunia untuk menguasai wilayah Papua. Seakan-akan negeri ini tidak bertuan sehingga layak menjadi rebutan bangsa-bangsa di dunia. Karena itu, sejak awal wilayah Papua tidak luput dari skenario politik global dan konspirasi yang saat itu melibatkan PBB, Amerika Serikat, Inggris, Belanda dan Indonesia. Dengan jalan itu, wilayah Papua lalu dianeksasi melalui invasi militer yang dinamakan Operasi Mandala 1962 dan berbagai operasi militer ikutan di awal 1960-an, hingga rekayasa pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.

Sewaktu menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), rakyat Papua tidak punya ruang sedikit pun untuk memperjuangkan hak-haknya di jaman orde baru. Keinginan itu seakan terkubur dalam-dalam oleh pendudukan (okupasi) Indonesia. Sebab sebelum dan sesudah pelaksanaan Pepera 1969, Pemerintah Indonesia dengan kaki tangan militernya gencar melakukan operasi-operasi tumpas terhadap orang Papua yang dinilai anti Indonesia. Hasil rekayasa Pepera 1969 yang menyatakan Papua bergabung dengan Indonesia telah menjadi semacam “surat ijin” untuk membantai, menangkap, memenjarakan, menyiksa, dan membungkam suara rakyat Papua.

Banyak orang Papua yang terlibat aktivitas OPM atau yang dicurigai mendukung gerakan ini telah menjadi korban pembantaian operasi militer Indonesia. Tidak sedikit yang ditembak mati di tempat, ditangkap, disiksa hingga mati dalam penjara atau diculik dan dibunuh. Ketika ada rakyat Papua yang hendak memperjuangkan hak-haknya, identitas kePapua-an, termasuk jika menentang eksploitasi besar-besaran atas SDA mereka oleh Pemerintah Indonesia bersama antek-antek kapitalis, maka dengan mudah Pemerintah RI mengaitkannya sebagai tindakan separatis, makar dan OPM. Akibatnya, rakyat Papua harus berhadapan langsung dengan moncong senjata, peluru, sangkur hingga dipenjarakan aparat kemanan Indonesia (TNI/Polri).

Situasi ini tentu menimbulkan trauma berkepanjangan dan rasa frustasi yang amat mendalam hingga hari ini. Pelapor khusus PBB (United Nations/UN) untuk bidang anti penyiksaan, Dr. Manfred Noak pada 2006 lalu pernah melaporkan bahwa kurang lebih 800.000 orang Papua telah menjadi korban pembantaian militer Indonesia sejak 1963. Tapi jumlah itu belum termasuk korban yang mayatnya tidak diketahui atau pun yang dibunuh secara misterius oleh militer Indonesia. Kini status Otonomi Khusus memang telah diberikan Pemerintah Indonesia bagi wilayah Papua. Lantas ini seolah-olah menjadi penawar untuk mengobati luka-luka penderitaan dan kepedihan mendalam yang telah dirasakan Rakyat Bangsa Papua selama bertahun-tahun.

Namun ketika kebijakan ini diterapkan selama 10 tahun lebih (sejak berlaku 2002 silam), malahan tidak memberi harapan berarti bagi Rakyat Bangsa Papua yang sejak lama dipaksa menjadi bagian NKRI selama hampir 50 tahun. Tampak bahwa selama puluhan tahun (sejak 1963), strategi dan pendekatan pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua lebih banyak di dominasi oleh kebijakan dan pendekatan politik, ketimbang pendekatan-pendekatan kesejahteraan. Kini tidak diragukan lagi bahwa Otonomi Khusus sedang menjadi jalan masuk peminggiran (marginalisasi) hingga pemusnahan etnis (genocide or etnic cleansing) secara sistematis terhadap Rakyat Bangsa Papua yang berkulit hitam dan berambut keriting di Tanahnya sendiri.

Dengan demikian, melalui spirit ‘One People One Soul,’ atau Satu Rakyat Satu Jiwa, yang telah diwariskan para pejuang Papua terdahulu, telah menjadi pendorong utama rekonsiliasi terwujudnya persatuan nasional Rakyat Bangsa Papua untuk melawan ketikadilan dan penindasan. Wujud persatuan itu telah melahirkan Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan (KNPBP) atau West Papua National Coalition For Liberation (WPNCL). Proses ini juga telah mendorong rekonsiliasi sejumlah komponen Rakyat Bangsa Papua guna menggalang tercapainya persatuan nasional Papua Barat yang memiliki kesadaran kolektif akan identitas sebagai sebuah bangsa yang berasal dari rumpun Melanesia demi pencapaian cita-cita perjuangan. (Hagana Marxzioni/KPP Garda-P)

Oleh : Aliansi Mahasiswa Papua [AMP]


Post a Comment

Silahkan Berikan Komentar Anda Seputar Artikel - Artikel Ini di Sini !