Areal Tembagapura Papua (ils) |
Papua merupakan sebuah pulau yang terkenal kaya akan kekayaan alamnya, yang mengakibatkan Pulau Papua menjadi rebutan perusahaan-perusahaan besar seperti PT. Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco dan beberapa perusahaan lain dari negara-negara kapitalis dan imprealis yang berlomba-lomba untuk menanamkan modal (ber-investasi) di tanah Papua. Ketertarikan negara-negara kapitalis dan imprealis untuk menguasai wilayah Papua sendiri menjadi sebuah babak baru dari sejarah Bangsa Papua, yang mengakibatkan rakyat Papua yang memiliki Hak atas tanah Papua ini, harus menjadi korban atas keserakahan dan kerakusan negara-negara kapitalis/inprealis dan antek-anteknya yang berusaha dengan segalah macam cara mereka untuk menguasai tanah Papua. Namun dari semua perusahaan-perusahaan asing yang ada di Papua, penulis lebih tertarik untuk membahas terkait keberadaan PT. Freeport di Papua yang terus menerus menimbulkan konflik sosial di masyarakat adat setempat yang merupakan pemilik hak ulayat atas wilayah yang menjadi di eksplorasi oleh PT. Freeport ini.
Untuk itu, sebelum melangkah lebih jauh terkait masuknya perusahaan-perusahaan asing di Papua, penulis berfikir alangkah baiknya memaparkan secara singkat sejarah awal terkuaknya kandungan kekayaan alam yang melimpah di Papua dan sejarah masuknya PT. Freeport terlebih dahulu.
- Sejarah Singkat Terkuaknya Kekayaan Alam di Papua dan Masuknya PT. Freeport di Papua
Pada tahun 1904-1905 suatu lembaga swasta dari Belanda
Koninklijke Nederlandsche Aardrijkskundig Genootschap (KNAG) yakni Lembaga
Geografi Kerajaan Belanda, menyelenggarakan suatu ekspedisi ke Papua Barat Daya
yang tujuan utamanya adalah mengunjungi Pegunungan Salju yang konon kabarnya
ada di Tanah Papua.
Catatan pertama tentang pegunungan
salju ini adalah dari Kapten Johan Carstensz yang dalam perjalanan dengan dua
kapalnya Aernem dan Pera ke “selatan” pada tahun 1623 di perairan sebelah
selatan Tanah Papua, tiba-tiba jauh di - pedalaman melihat kilauan salju dan
mencatat di dalam buku hariannya pada tanggal 16 Februari 1623 tentang suatu
pegungungan yang “teramat tingginya” yang pada bagian-bagiannya tertutup oleh
salju. –Catatan Carsztensz ini menjadi cemoohan kawan-kawannya yang menganggap
Carstensz hanya berkhayal.
Walaupun ekspedisi pertama KNAG
tersebut tidak berhasil menemukan gunung es yang disebut-sebut dalam catatan
harian Kapten Carstensz, inilah cikal bakal perhatian besar Belanda terhadap
daerah Papua. Peta wilayah Papua pertama kali dibuat dari hasil ekspedisi
militer ke daerah ini pada tahun 1907 hingga 1915. Ekspedisi-ekspedisi militer
ini kemudian membangkitkan hasrat para ilmuwan sipil untuk mendaki dan mencapai
pegunungan salju.
Beberapa ekspedisi Belanda yang
terkenal dipimpin oleh Dr. HA.Lorentz dan Kapten A. Franzen Henderschee. Semua
dilakukan dengan sasaran untuk mencapai puncak Wilhelmina (Puncak Sudirman
sekarang) pada ketinggian 4,750 meter. Nama Lorentz belakangan diabadikan untuk
nama Taman Nasional Lorentz di wilayah suku Asmat di pantai selatan.
Pada pertengahan tahun tiga
puluhan, dua pemuda Belanda Colijn dan Dozy, keduanya adalah pegawai perusahaan
minyak NNGPM yang merencanakan pelaksanaan cita-cita mereka untuk mencapai
puncak Cartensz. Petualangan mereka kemudian menjadi langkah pertama bagi
pembukaan pertambangan di Tanah Papua empat puluh tahun kemudian.
Pada tahun 1936, Jean Jacques Dozy
menemukan cadangan Ertsberg atau disebut gunung bijih, lalu data mengenai
batuan ini dibawa ke Belanda. Setelah sekian lama bertemulah seorang Jan Van
Gruisen – Managing Director perusahaan Oost Maatchappij, yang mengeksploitasi
batu bara di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengggara dengan kawan lamanya
Forbes Wilson, seorang kepala eksplorasi pada perusahaan Freeport Sulphur
Company yang operasi utamanya ketika itu adalah menambang belerang di bawah
dasar laut. Kemudian Van Gruisen berhasil meyakinkan Wilson untuk mendanai
ekspedisi ke gunung bijih serta mengambil contoh bebatuan dan menganalisanya
serta melakukan penilaian. {Sejarah]
Hasil penelitian dan analisa dari berbatuan yang diambil dari Ertsberg ini menjadi sebuah data awal bagi Freeport untuk melakukan ekplorasi di tanah Papua, namun PT. Freeport yang merupakan perusahaan milik Amerika mengalami jalan buntu untuk masuk melakukan ekplorasi di Papua, karena pada saat itu, Papua masih merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Belanda yang juga merupakan sekutu Amerika. Namun seiring dengan berjalanya waktu kekuasaan Belanda atas Papua diusik Indonesia.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dari jajahan Belanda pada tanggal 17 agustus 1945, namun belanda baru mengakuinya empat tahun kemudian (1949) setelah melancarkan agresi militer II Belanda pada tanggal 19-12-1948. Dengan diakuinya kemerdekaan Indonesia, Ir. Soekarno yang saat itu merupakan Presiden Indonesia mulai melancarkan klaimnya atas wilaya Papua dengan alasan-alasan yang tidak jelas dan rasional diantaranya ; Soekarno mengklaim Papua menjadi bagian dari Indonesia dengan 1).alasan Papua merupakan bagian dari kerajaan Tidore yang merupakan kerajaan yang pernah ditahlukan oleh Gadjah Mada, namun hal itu tidak dapat dibuktikan hingga saat ini. 2).Papua merupakan bagian dari jajahan Hindia-Beelanda, padahal jelas-jelas pada pembacaan Proklamasi Indonesia telah menyatakan bahwa batasan wilayahnya hanyalah dari Sabang sampai Ambon saja, dan hal itu juga dipertegas oleh Drs. Moh. Hatta yang merupakan wakil Presiden dan ketua delegasi Indonesia dalam Konfrensi Meja Bundar di Denhag Belanda, dan beberapa alasan lainnya.
Namun menurut penulis, Alasan paling mungkin
yang menjadi dasar Soekarno melakukan pengklaiman atas Papua ialah persoalan
Ekonomi dan Politik Indonesia saat itu, selain dari itu, Soekarno yang anti
imperialisme barat ingin menghalau bangsa barat yang masih berkoloni di sekitar
Indonesia (ingat: "Ganyang Malaysia"), termasuk Papua Barat. Mungkin
juga Soekarno memiliki perasaan curiga, bahwa Nederlands Nieuw Gu- inea (Papua
Barat) akan merupakan benteng Belanda untuk sewaktu-waktu dapat menyerang kembali
Indonesia (ingat: aksi militer Belanda yang kedua 19-12-1948 untuk
menghancurkan negara RI), maka Soekarno bersikeras untuk mengklaim Papua menjadi bagian dari Indonesia dengan menghalalkan cara-caranya. {Sejarah}
Soekarno mengancam akan memohon dukungan dari pemerintah
bekas Uni Sovyet di dalam usahanya menganeksasi Papua Barat jika
pemerintah Belanda tidak bersedia menyerah- kan Papua Barat ke tangan RI.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada waktu itu sangat takut akan
jatuhnya negara Indonesia ke dalam blok Komunis, karena Soekarno dikenal oleh
dunia barat sebagai seorang presiden yang sangat anti imperialisme
barat dan dengan jelas lebih cenderung pro blok Timor. Pemerintah AS
ingin mencegah kemungkinan yang akan terjadi dengan memaksa pemerintah
Belanda untuk menyerahkan Papua Barat ke tangan RI.5
Pemerintah AS di samping menekan pemerintah Belanda, berusaha mendekati presiden Soekarno. Soekarno diundang untuk
berkunjung ke Washington (AS) pada tahun 1961 dan pada tahun 1962 utusan pribadi
presiden John Kennedy yaitu Jaksa Agung Robert Kennedy mengadakan
kunjungan balasan ke Indonesia untuk membuktikan keinginan AS tentang dukungan
kepada Soekarno di dalam usaha menganeksasi Papua Barat. Untuk mengelabuhi
mata dunia bahwa proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat
dilakukan melalui jalur hukum internasional secara sah dengan dimasukkannya
masalah Papua Barat ke dalam agenda Majelis Umum PBB pada tahun 1962. Dari
dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang
mengandung "Act of Free Choice" (Pernyataan Bebas Memilih). Act of
Free Choice kemudian salah diterjemahkan oleh pemerintah RI sebagai PEPERA
(Pernyataan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969. Menurut
Perjanjian New York, rakyat Papua Barat harus bebas memilih apakah
mereka ingin merdeka sendiri.
Pada tanggal 1 Oktober 1962, UNTEA (United Nations
Temporary Executive Authority) mengambil alih kekuasaan administratif
di Papua Barat dari pemerintah Belanda, dan sebelum tepat satu tahun UNTEA di Papua, UNTEA menyerahkan kekuasaan administratif Papua kepada Indonesia tepatnya pada tanggal 1 Mei 1963, yang dikatakan orang Indonesia sebagai hari Integrasi, namun rakyat Papua mengagap itu sebagai hari ANEGSASI.
Dengan berjannya waktu, Amerika menilai Soekarno akan mengingkari janjinnya, maka Amerika saat itu berupanya mengadu domba Indonesia dengan isu Komunis, yang akhirnya Amerika dengan mengandalkan Soeharto, yang saat itu adalah Kasad Angkatan Darat Indonesia yang juga memiliki emosi terpendam terhadap pimpinan-pimpinan Indonesia dan jendral-jendral saat itu untuk melakukan pembusukan-pembusukan kepada para pemimpin Indonesia dengan bantuan CIA dan melakukan penggulingan, lewat pebantaian terhadap sembilan jendral yang dikenal dengan peristiwa G 30 S/PKI yang meledak pada tanggal 1 Oktober 1965.
Akhirnya pada tanggal 11 maret 1966, Jendral Soeharto mendapatkan surat yang terkenal dengan nama "SUPERSEMAR" untuk memulihkan stabilitas, keamanan dan ketertiban di Indonesia saat itu yang sedang kacau-balau. Karena situasi yang semakin memburuk paska G30S/PKI, akhirnya sidang istimewah MPRS pada bulan maret 1967, memutuskan dan mengukuhkan Soeharto menjadi Presiden ke II Indonesia.
Setelah dikukuhkan, Di awal periode pemerintahan
Soeharto, pemerintah mengambil kebijakan untuk segera melakukan berbagai
langkah nyata demi meningkatkan pembanguan ekonomi. Namun dengan kondisi
ekonomi Indonesia yang terbatas setelah penggantian kekuasaan, pemerintah di awal era Soeharto segera
mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang Modal Asing (UU
No. 1 Tahun 1967)yang jelas memberi peluang bagi investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
Melihat peluang yang diberikan Soeharto, Pimpinan tertinggi Freeport di masa
itu yang bernama Langbourne Williams melihat peluang untuk meneruskan proyek
Ertsberg. Beliau bertemu Julius Tahija yang pada zaman Presiden Soekarno
memimpin perusahaan Texaco dan dilanjutkan pertemuan dengan Jendral Ibnu
Sutowo, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan
Perminyakan Indonesia. Inti dalam pertemuan tersebut adalah permohonan agar
Freeport dapat meneruskan proyek Ertsberg. Akhirnya dari hasil pertemuan demi
pertemuan yang panjang Freeport mendapatkan izin dari Indonesia untuk
meneruskan proyek tersebut pada tahun 1967, padahal saat itu Papua belum sah menjadi bagian dari Indonesia, sebab pelaksanaan Penenruan Pendapat Rakyat (PEPERA) sendiri baru dilaksanakan dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1969 dan juga dalam pelaksanaan kontrak karya, rakyat Papua yang menjadi pemilik hak ulayat atas wilayah eksplorasi PT. Freeport sendiri tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan kontrak karya yang dilakukan.
Dengan melihat berbagai macam kejanggalan yang terjadi atas masuknya PT. Freeport pada tahun 1967(2 tahun sebelum PEPERA), maka sudah sangat layak dan patut dicurigai bahwa masuknya Freeport ke Papua sendiri telah memberikan keyakinan bahwa Indonesia akan tetap menguasai Papua, sebab PT. Freeport merupakan perusahaan terbesar milik Amerika yang secara otomatis Amerika akan membantu Indonesia untuk menguasai Papua.
Dan kecurigaan atas akan adanya kecurangan dalam pelaksanaan PEPERA sendiri sebenarnya sudah dapat tercium sejak Amerika mendekati Indonesia dan menekan Belanda untuk angkat kaki dari Papua, serta dengan didaftakannya permasalahaan Papua ke dalam PBB oleh Amerika, agar terlihat pencaplokan ini berjalan sesuai dengan standar Internasional. Selain itu, pelaksanaan PEPERA sendiri tidak berjalan sesuai ketentuan Internasional yang mengharuskan seluruh Rakyat Papua untuk dapat menentukan pilihan mereka masing-masing, namun nyatanya pelaksanaannya dibuat sistem keterwakilan dengan cara menyeleksi dan mendidik orang-orang yang ditunjuk, dan hal itupun dilakukan dibawa todongan senjata.
- PT. Freeport Sumber Konflik !
Awal dilaksanakannya kontrak karya PT. Freeport pada tahun 1967, di awal tahun Soeharto menjadi presiden Indonesia ke-II saja telah menimbulkan suatu dilema dan tanda tanya ditinggkatan rakyat Papua dan kalangan internasional, sebab bagaimana mungkin bisa memberikan kebebasan kepada PT. Freeport untuk melakukan eksplorasi di Papua (Tembagapura), sedangkan kontrak karya itu sendiri dilaksanakan dua tahun lebih awal (1967) sebelum pelaksanaan PEPERA pada tahun 1969 sesuai dengan ketentuan Internasional pada tanggal 15 Agustus 1962, yang dikenal dengan "New York Agreement".
Meskipun masuk dengan penuh dilema dan pertentangan serta tanda tanya, PT. Freeport tetap saja melakukan eksplorasi di Papua sejak 1967, dan yang sangat menyakitkan hati rakyat Papua adalah, dengan masuknya Freeport 2 tahun lebih awal ke Papua, maka inilah yang menjadi alasan utama Amerika mendukung Papua menjadi bagian dari Indonesia, dan Akhirnya Amerikapun memenuhi janji mereka dengan memenangkan Indonesia dalam pelaksanaan PEPERA. Meskipun terdapat kecurangan dan pelaksanaan tidak sesuai ketentuan PBB, namun kelihatannya Amerikan memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding PBB, hal itu terbukti dengan kehadiran utusan PBB yang tidak terlalu mempersoalkan pelalsanaan PEPERA yang jelas-jelas catat hukum Internasional.
Seiring berjalannya waktu, duku yang ditimbulkan PT. Freeport itu tidak hanya terjadi pada saat proses masuknya saja, namun dalam perjalanannya melakukan eksplorasi di Papua (Tembagapura), Freeport selalu saja menciptakan duka dan mala petaka bagi masyarakat adat yang memiliki hak ulayat atas tanah yang sedang dieksplorasi tersebut. PT. Freeport selalu menggunakan kekuatan militer Indonesia dalam menghadapi rakayat yang menuntut hak-hak mereka atas tanah mereka, dengan membayar aparat militer dan mempersenjatai mereka (TNI-POLRI), Freeport selalu saja melakukan pembiaran kepada militer untuk melukai dan bahkan membunuh Rakyat lokal yang mendekati areal pertambangan dengan menyatakan mereka (rakyat) ini sebagai pencuri,dan pengganggu keamanan dikawasan Freeport.
Tindakan-tindakan yang dilakukan Freeport ini mendapatkan perhatian serius dari para aktivis penggiat HAM dibelahan dunia, dan akhirnya, Freeport berfikir untuk menggunakan cara lain untuk menyikapi aspirasi rakyat lokal, dengan wadah Lembaga Masyarakat dari tujuh suku yang daerahnya dieksplorasi Freeport, namun hal ini ternyata hanyalah akal-akalan Freeport untuk meredam aspirasi rakyat Papua dari tujuh suku yang ada.
Bersambung.........
Bersambung.........
Referensi :http://id.wikipedia.org
Post a Comment
Silahkan Berikan Komentar Anda Seputar Artikel - Artikel Ini di Sini !