I. Perempuan
dalam Masa Komunal
Perempuan berderajat lebih rendah dari
pada laki-laki - inilah anggapan umum yang berlaku sekarang ini tentang
kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Anggapan ini tercermin dalam
prasangka-prasangka umum, seperti "seorang istri harus melayani
suami", "perempuan itu turut ke surga atau ke neraka bersama
suaminya", dll. Prasangka-prasangka ini mendapat penguatan dari struktur
moral masyarakat yang terwujud dalam peraturan-peraturan agama dan adat.
Lagipula prasangka-prasangka tersebut, sepanjang ingatan kita, bahkan
nenek-moyang kita, keadaannya memang sudah begini. Tapi anggapan ini adalah
anggapan yang keliru. Para ahli antropologi sudah menemukan bahwa keadaannya
tidaklah selalu demikian.
Dalam masyarakat Indian Iroquis,
misalnya, kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar setara. Bahkan, semua
laki-laki dan perempuan dewasa otomatis menjadi anggota dari Dewan Suku, yang
berhak memilih dan mencopot ketua/kepala suku. Jabatan ketua suku dalam
masyarakat Indian Iroquis tidaklah diwariskan, melainkan merupakan penunjukan
dari warga suku melalui sebuah pemilihan langsung yang melibatkan semua
laki-laki dan perempuan secara setara dan bersama-sama. Keadaan ini berlangsung
sampai jauh ke abad ke 19.
Dalam masyarakat Jermania, ketika
mereka masih mengembara di luar perbatasan dengan Romawi, berlaku juga keadaan
yang sama. Kaum perempuan mereka memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan
kaum laki-lakinya. Peran yang mereka ambil dalam pengambilan keputusanpun
setara karena setiap perempuan dewasa adalah juga anggota dari Dewan Suku.
Demikian pula yang berlaku di tengah suku-suku Schytia dari Asia Tengah. Di
tengah mereka, bahkan perempuan dapat diangkat menjadi prajurit dan pemimpin
perang.
Namun jika kita cermati lebih lanjut,
masyarakat-masyarakat di mana kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar
setara ini adalah masyarakat nomaden, yang mengandalkan perburuan dan
pengumpulan bahan makanan sebagai sumber penghidupan utama mereka. Suku-suku Indian
Iroquis sudah mulai bertanam jagung, namun masih dalam bentuk sangat sederhana.
Demikian pula yang berlaku di tengah masyarakat Jermania dan Schytia.
Pertanian, bagi mereka, hanyalah pengisi waktu ketika hewan-hewan buruan mereka
sedang menetap di satu tempat. Data-data arkeologi bahkan menunjukkan bahwa
pertanian primitif ini hanya dikerjakan oleh kaum perempuan sebagai pengisi
waktu senggang, dan tidak dianggap sebagai satu hal yang terlalu penting untuk
dapat dikerjakan oleh seluruh suku secara bersama-sama.
Namun, ketika berbagai masyarakat
manusia menggeser prikehidupannya ke arah masyarakat pertanian, seluruh
struktur masyarakatpun berubah. Termasuk di antaranya hubungan antara laki-laki
dan perempuan.
II. Pertanian dan Bangkitnya Patriarki
Berlawanan dengan pandangan umum
tentang bangkitnya masyarakat pertanian, umat manusia tidaklah dengan sukarela
memeluk pertanian sebagai cara hidup. Biasanya, orang beranggapan bahwa manusia
mulai bertani ketika mereka menemukan daerah-daerah subur yang cocok untuk
bertani. Namun, data-data arkeologi dan antropologi menunjukkan bahwa manusia
mulai bertani ketika mereka terdesak oleh perubahan kondisi alam, di mana
kondisi yang baru tidak lagi memberi mereka kemungkinan untuk bertahan hidup
hanya dari berburu dan mengumpul bahan makanan.
Peradaban pertanian yang pertama kali
muncul adalah peradaban Sumeria dan Mesir. Keduanya lahir dari terdesaknya
suku-suku manusia yang mengembara di dataran padang rumput yang kini dikenal
sebagai Afrasia. Padang rumput kuno yang kini sudah musnah ini membentang dari
daerah pegunungan Afrika Timur melalui Arabia sampai pegunungan Ural di Asia
Tengah. Sekitar 8.000 - 11.000 tahun yang lalu, ketika Jaman Es terakhir telah
berakhir, padang rumput ini mengalami ketandusan akibat perubahan iklim.
Ketandusan ini berawal dari daerah Arabia dan meluas ke utara dan selatan.
Bersamaan dengan mengeringnya padang rumput ini, hewan-hewan buruan akan
berpindah mencari tempat yang masih subur.
Para pemburu dan pengumpul yang
mengikuti hewan buruan ke utara akhirnya bertemu dengan lembah sungai Efrat dan
Tigris, sementara yang ke selatan bertemu dengan lembah sungai Nil. Pada masa
itu, sebuah lembah sungai merupakan medan yang tak tertembus oleh manusia,
contoh modern dari lembah-lembah sungai yang masih perawan seperti yang ada
disekitar kita saat ini di Papua. Karena terjepit antara dua keadaan yang
berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka, kelompok-kelompok pemburu dan
pengumpul ini akhirnya memutuskan untuk bergerak memasuki lembah-lembah sungai ini
dan berusaha menaklukkannya - setidaknya, di lembah-lembah sungai ini masih
tersedia air.
Proses penaklukan ini pasti berjalan
dengan amat beratnya karena peralatan yang mereka miliki, pada awalnya,
hanyalah peralatan untuk berburu. Kini mereka harus menciptakan improvisasi
bagi alat-alat mereka supaya dapat digunakan untuk membersihkan lahan. Karena
peralatan mereka yang primitif itu, proses pembukaan lahan ini dapat
berlangsung beratus tahun lamanya. Sementara jarang ada binatang buruan yang
akan mengikuti mereka memasuki lembah-lembah sungai itu. Mereka dihadapkan pada
keharusan untuk menemukan sumber makanan lain.
Dan di saat inilah, menurut data
arkeologi, kaum perempuan sebagai juru selamat. Mereka menggunakan ketrampilan
mereka untuk mengolah biji-bijian menjadi tanaman untuk mendapatkan bahan
makanan bagi seluruh komunitas. Apa yang tadinya hanya pengisi waktu senggang
kini menjadi sumber penghidupan utama seluruh masyarakat.
Keharusan manusia untuk menemukan
cara-cara baru untuk mempertahankan hidupnya membuat perkembangan teknologi
berlangsung dengan pesat di tengah masyarakat pertanian, jika dibandingkan
dengan perkembangan teknologi dalam masa-masa sebelumnya. Dengan perkembangan
teknologi ini, apa yang tadinya hanya dapat dikerjakan bersama-sama (komunal)
kini dapat dikerjakan secara sendirian (individual). Proses untuk
menghasilkan sumber penghidupan kini berangsur-angsur berubah dari proses
komunal menjadi proses individual.
Dan, hal yang paling wajar ketika
pekerjaan sudah dilakukan secara individual adalah bahwa hasilnya kemudian
menjadi milik individu (perorangan/pribadi). Pertanian
memperkenalkan kepemilikan pribadi pada umat manusia.
Di samping itu, pertanian sesungguhnya
menghasilkan lebih banyak daripada berburu dan mengumpul. Tiap kali panen,
manusia menghasilkan jauh lebih banyak daripada yang dapat dihabiskannya.
Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan hasil lebih pada
pri-kehidupan manusia.
Namun, hasil lebih ini tidaklah muncul
secara kontinyu, melainkan dalam paket-paket. Sekali panen, mereka mendapat
hasil banyak, namun hasil itu harus dijaga agar cukup sampai panen berikutnya.
Hal ini menumbuhkan keharusan untuk menjaga dan membagi
hasil lebih ini. Melalui proses ratusan tahun, kedua keharusan ini
menumbuhkan tentara dan birokrasi. Dengan kata lain, pertanian
memperkenalkan Negara pada pri-kehidupan manusia.
Sekalipun berlangsung berangsur-angsur
selama ratusan tahun, pada satu titik, perubahan-perubahan kecil ini
menghasilkan lompatan besar pada pri-kehidupan manusia. Terlebih lagi setelah
pertanian diperkenalkan, baik melalui penaklukan atau melalui proses
inkulturasi, pada peradaban-peradaban lain di seluruh dunia. Dan salah satu
perubahan penting ini terjadi pada pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan.
Pertama, pertanian pada awalnya
membutuhkan banyak tenaga untuk membuka lahan karena tingkat teknologi yang
rendah. Hanya dari proses ekstensifikasi (perluasan lahan)-lah pertambahan
hasil dapat diperoleh. Oleh karena itu, proses reproduksi manusia menjadi salah
satu proses yang penting untuk mendapatkan sebanyak mungkin tenaga pengolah
lahan pertanian. Aktivitas seksual, yang tidak pernah dianggap penting, bahkan
dianggap beban, di tengah masyarakat berburu dan mengumpul, kini menjadi satu
aktivitas yang penting. Dewi Kesuburan merupakan salah satu dewi terpenting di
tengah masyarakat pertanian, bukan hanya berkenaan dengan kesuburan tanah
melainkan juga tingkat kesuburan reproduksi perempuan. Dan sebagai akibat logis
dari keadaan ini kaum perempuan semakin tersingkir dari proses produktif di
tengah masyarakat. Waktunya semakin lama semakin terserap ke dalam
kegiatan-kegiatan reproduktif.
Kedua, teknologi pertanian yang maju
semakin pesat ini ternyata malah membuat aktivitas produksi di sektor pertanian
menjadi semakin tertutup buat perempuan. Penemuan arkeologi menunjukkan bahwa
ditemukannya bajak telah menggusur kaum perempuan dari lapangan ekonomi. Bajak
merupakan alat pertanian yang berat, yang tidak mungkin dikendalikan oleh
perempuan. Terlebih lagi bajak biasanya ditarik dengan menggunakan tenaga hewan
ternak, di mana pengendalian terhadap ternak memang merupakan wilayah
ketrampilan kaum laki-laki. Intrusi (mendesak masuknya) peternakan ke dalam
pertanian telah membuat ruang bagi kaum perempuan, yang keahliannya hanya dalam
bidang pertanian, semakin tertutup.
Karena perempuan semakin tidak mampu
terlibat dalam lapangan produksi, maka iapun semakin tergeser ke
pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Dan ketika perempuan telah semakin
terdesak ke lapangan domestik inilah patriarki mulai menampakkan
batang hidungnya di muka bumi.
III. Kepemilikan Pribadi dan Patriarki
Tergesernya kaum perempuan dari
lapangan produktif ini terjadi dalam konteks berkembangnya kepemilikan pribadi.
Dengan semakin bergesernya proses produksi menjadi sebuah proses perorangan,
maka unit pengaturan masyarakat pun berubah. Jika tadinya unit pengaturan
masyarakat yang terkecil adalah suku
maka kini muncullah sebuah lembaga baru, yakni keluarga.
Hampir di tiap masyarakat yang
terhitung primitif konsep tentang keluarga tidak dikenal. Penelitian arkeologis
telah menemukan berbagai bentuk sistem reproduksi masyarakat komunal seperti
ini. Seperti nyata di tengah masyarakat Zulu, di Afrika, di mana tiap waktu
tertentu diadakan satu upacara di mana kaum perempuan memilih pasangannya untuk
jangka waktu sampai upacara berikutnya diadakan. Suku-suku Afrika yang lain,
semacam orang-orang Bush, menganut sistem di mana seorang perempuan adalah
istri dari semua laki-laki yang ada di suku tersebut, sementara seorang laki-laki
adalah suami dari semua perempuan di sukunya. Suku-suku aborigin Australia
menganut sistem silang-suku, di mana mereka mengenal suku-saudara. Seorang
perempuan aborigin adalah istri dari semua laki-laki dalam suku-saudara mereka,
demikian sebaliknya yang terjadi dengan tiap laki-laki dalam suku tersebut.
Oleh karena pola reproduksi yang
komunal semacam ini, garis keturunan seseoang hanya dapat dilihat dari siapa
ibunya. Dari sinilah sebab mengapa dalam masyarakat primitif hanya dikenal
garis matrilineal. Ini nampak nyata dalam asal-usul kata "gen" atau
"genetik" itu sendiri, yang berasal dari kata kuno bangsa Arya gan
atau kan yang artinya "kelahiran" atau "kehamilan".
Jadi, "keturunan" merupakan satu bentuk yang sangat bernuansa
perempuan pada awalnya.
Namun demikian, garis matrilineal ini
tidaklah berarti apa-apa selain penentu apakah seseorang dapat digolongkan
sebagai "orang kita" atau bukan. Dalam makna yang lebih luas, apakah
ia setelah dewasa akan dapat memperoleh tempat dalam Dewan Suku dan ikut
mengambil keputusan-keputusan penting. Jadi, pada masa itu tidaklah dikenal
Matriarki. Perempuan dan laki-laki benar-benar setara kedudukannya di tengah
masyarakat. Namun, pertanian mengubah semua itu.
Di atas kita telah melihat bahwa
peranan perempuan perlahan-lahan tergusur dari lapangan produktif ke lapangan
domestik. Pada awalnya ini adalah satu proses yang diterima baik oleh kaum
perempuan karena pembagian kerja seperti ini dapat secepatnya meningkatkan
hasil yang dapat diperoleh dari lapangan produksi itu sendiri. Dengan sukarela
kaum perempuan menyerahkan tempatnya di lapangan produksi demi satu pembagian
tugas yang akan meningkatkan hasil produksi setinggi-tingginya.
Yang tidak dapat dilihat oleh kaum
perempuan masa itu adalah peranan kepemilikan pribadi dalam menempa sebuah
sistem masyarakat.
Dalam hal ini, karena proses produksi
telah menjadi sebuah proses perorangan, maka alat-alat produksi juga menjadi
milik perorangan. Sistem kepemilikan suku atas alat-alat produksi semakin lama
semakin pudar. Dan bersamaan dengan itu, kepemilikan atas hasil produksi juga
berubah dari kepemilikan bersama menjadi kepemilikan perorangan.
Dan karena perempuan telah menyerahkan
tempat mereka dalam lapangan produksi kepada laki-laki, maka kepemilikan atas
alat-alat produksi itu kemudian juga jatuh kepada laki-laki. Dan karena
kepemilikan atas alat produksi itu jatuh pada laki-laki, kepemilikan atas hasil
produksinya juga jatuh ke tangan laki-laki.
Berikutnya, ketika kita bicara tentang
bagaimana menjaga dan mengatur pembagian hasil produksi ini, siapakah yang
berhak mengambil keputusan? Tentunya, karena merekalah yang bergiat di lapangan
produksi, hak inipun jatuh pada laki-laki.
Ketika hak untuk mengambil keputusan
dalam masyarakat telah secara eksklusif dipegang oleh kaum laki-laki,
bangkitlah patriarki.
Perlahan-lahan, setelah proses ini
berlangsung ratusan tahun, orangpun melupakan asal-usul pergeseran ini dan hak
waris dari garis laki-laki kemudian terlembagakan. Demikian pula seluruh sistem
nilai dalam masyarakat yang semula menjunjung tinggi kesamaan antara laki-laki
dan perempuan kini tergeser dan tergantikan oleh sistem nilai di mana laki-laki
berkuasa atas perempuan.
Salah satunya nampak dalam sistem
kepercayaan, yang merupakan salah satu sistem nilai yang paling tua umurnya
dalam sejarah manusia. "Agama-agama" paling kuno, seperti dinamisme
atau animisme, sama sekali tidak membagi dewa-dewa mereka sebagai laki-laki
atau perempuan. Bagi mereka, masalah jenis kelamin ini sama sekali tidak
penting. Agama-agama yang muncul kemudian telah mulai membagi kekuatan-kekuatan
supranatural ini menjadi dewa (laki-laki) dan dewi (perempuan). Namun di antara
keduanya sama sekali tidak nampak perbedaan kekuasaan yang mencolok. Agama
orang-orang Yunani, misalnya, sekalipun menempatkan Zeus (laki-laki) sebagai
pemimpin tertinggi, namun ia seringkali tidak dapat menghalangi apa yang
diinginkan oleh istrinya, Hera. Untuk hampir tiap masalah, selalu ada pasangan
dewa dan dewi yang menaunginya, seperti Athena-Aries (perang), Cupid-Venus
(cinta), dll. Apollo jelas laki-laki, namun objek yang dinaunginya yakni
matahari selalu harus menyerah pada bulan yang dilindungi oleh Artemis ketika
malam tiba. Bahkan Apollo dan Artemis adalah kakak-beradik. Baru pada
agama-agama monotheis-lah kekuatan supranatural tertinggi dilekatkan pada
laki-laki, seperti yang nampak pada anggapan kebanyakan penganut monotheis
mengenai apakah Tuhan adalah laki-laki atau perempuan.
IV. Kemungkinan-kemungkinan untuk
Pembebasan Perempuan
Di atas kita dapat melihat bahwa
penempatan perempuan pada posisi kelas dua dalam masyarakat berawal dari
tergesernya peranan kaum perempuan dalam lapangan produksi. Dan, pada
gilirannya, tergesernya peran ini adalah akibat dari tingkatan teknologi masa
itu yang tidak memungkinkan kaum perempuan untuk memasuki lapangan produksi.
Posisi kelas dua ini diperkukuh oleh
sistem kepemilikan pribadi, yang pada gilirannya memunculkan diri dalam
berbagai prasangka, sistem nilai dan ideologi yang menegaskan paham keunggulan
laki-laki dari perempuan.
Karena ketertindasan perempuan berawal
dari sebuah perjalanan sejarah yang objektif maka upaya pembebasan perempuan
dari posisi yang ditempatinya sekarang ini harus pula menemukan kondisi
objektif yang memungkinkan dilakukannya pembebasan tersebut. Kondisi itu adalah
kembalinya kaum perempuan ke lapangan produksi kolektif.
Kondisi ini sesungguhnya telah
diwujudkan oleh kapitalisme. Kapitalisme, yang mengandalkan mesin (birokrasi)
sebagai alat produksinya yang utama, telah memungkinkan kaum perempuan untuk
kembali berkarya di bidang produksi kebutuhan masyarakat. Bahkan, sekarang ini,
jika kita melihat di kota-kota besar, sudah jarang sekali ada kaum perempuan
yang tidak memberikan sumbangan bagi perolehan kebutuhan hidup keluarganya.
Lagipula, kapitalisme telah membuat
sistem produksi menjadi semakin lama semakin kolektif dengan melibatkan kaum
perempuan untuk terlibat dalam kegiatan produksi.
Barang-barang produksi yang saat ini
kita gunakan misalnya, adalah hasil karya ratusan, bahkan ribuan, orang dari
berbagai negeri. Hampir tiap barang yang kita pergunakan untuk memenuhi
kebutuhan kita sehari-hari merupakan hasil kerja ratusan bahkan ribuan orang.
Ini semua adalah pertanda bahwa sistem produksi komunal semakin hari semakin
berjaya kembali.
Dapatlah kita lihat bahwa perkembangan
kondisi objektif ini telah menghasilkan ruang yang sangat terbuka bagi
perempuan. Gerakan emansipasi perempuan telah berkembang bersamaan dengan
masuknya perempuan-perempuan kedalam dunia produksi (kantor, pabrik dll). Kini perempuan
telah berhak turut serta dalam berbagai bidang pekerjaan. Kebanyakan perempuan
juga telah bebas untuk memilih jalan hidupnya sendiri, termasuk memilih
pasangan hidup.
Namun demikian, kondisi objektif ini
tidak dapat berkembang menjadi pembebasan perempuan yang sepenuh-penuhnya
karena sistem nilai yang ada di tengah masyarakat masih merupakan sistem nilai
yang mendukung adanya peminggiran terhadap peran perempuan.
Kita dapat melihat bahwa pekerja
perempuan kebanyakan diupah jauh lebih rendah daripada pekerja laki-laki. Dan
ini terjadi diberbagai bidang kerja seperti dikantor, pabrik, dan dunia kerja
lainnya dimana perempuan terlibat didalamnya.
Masih dalam bidang pekerjaan, kita tahu
bahwa bidang-bidang tertentu masih diposisikan sebagai "bidangnya perempuan".
Seorang sekretaris, misalnya, haruslah cantik dan memiliki bentuk tubuh yang
"menarik". Banyak orang masih meremehkan seorang perempuan yang
bercita-cita dan berusaha keras untuk, misalnya, menjadi seorang pilot atau
bahkan seorang astronot.
Ini berkaitan erat dengan masih
dijadikannya perempuan sebagai simbol seksual dalam masyarakat. Penilaian utama
terhadap seorang perempuan diletakkan pada apakah ia "cantik",
"seksi" atau bentuk-bentuk penilaian fisik lainnya. Sesungguhnya,
penilaian inipun sangat bergantung pada masyarakatnya karena apa yang
"cantik dan seksi" untuk satu jaman belum tentu demikian untuk jaman
lainnya. Dan pada titik ekstrimnya, kita melihat pelacuran sebagai bentuk
eksploitasi puncak terhadap perempuan karena di sini bukan saja tenaganya yang
dieksploitasi melainkan juga moral dan intelektualitasnya.
Di tengah masyarakat kita telah pula
berkembang gerakan anti-emansipasi perempuan. Banyak bentuk yang diambil oleh
gerakan ini, namun pada intinya gerakan ini berusaha mengembalikan posisi
perempuan menjadi posisi terpinggirkan. Perempuan hendak dikembalikan pada
posisi tidak turut dalam pengambilan keputusan, bahkan hendak dibatasi kembali
ruang geraknya.
Sebaliknya, banyak pula dari kaum
perempuan yang telah lolos dari jerat pembatasan-pembatasan, ternyata justru
berbalik ikut membatasi gerak, bahkan turut menindas, kaum perempuan lainnya.
Telah banyak pemimpin perempuan di muka bumi ini, tapi berapa banyak dari
mereka yang berjuang untuk membebaskan kaum perempuan dari keterpinggiran dan
keterbelakangan? Telah banyak pula perempuan yan menjadi kepala negara, kepala
kantor, manajer, dan direktur, tapi berapa banyak dari mereka yang berjuang
agar pekerja-pekerja perempuan
mendapatkan seluruh hak mereka sebagai perempuan?
Di atas telah kita lihat bahwa masih
ada satu faktor lagi yang mengukuhkan ketertindasan perempuan: kepemilikan
pribadi. Kepemilikan pribadi tumbuh dari sebuah proses produksi yang
perorangan, di mana seluruh barang kebutuhan dihasilkan oleh perorangan. Di
bawah kapitalisme halnya tidak lagi demikian, semua pekerjaan telah dilakukan
secara komunal, secara kolektif. Namun, hasil kerja yang komunal ini masih
dinikmati secara pribadi, secara perorangan.
Dan oleh karena sistem kepemilikan
pribadi masih berjaya, maka seluruh sistem nilai yang mendukung kepemilikan
pribadi itu akan ikut berjaya pula. Dan kita tahu bahwa sistem nilai yang
mendukung kepemilikan pribadi adalah juga sistem nilai yang mendukung
peminggiran terhadap kaum perempuan.
Oleh karena itu, perjuangan pembebasan
terhadap perempuan tidaklah dapat dilepaskan dari perjuangan untuk mengubah
kendali atas proses produksi (dan hasil-hasilnya) dari tangan perorangan
(pribadi) ke tangan masyarakat (sosial). Sebaliknya, pengalihan kendali ini
tidak akan berhasil jika kaum perempuan belumlah terbebaskan. Tidaklah mungkin
membuat satu pengendalian produksi (dan pembagian hasilnya) secara sosial jika
kaum perempuan, yang mencakup setidaknya setengah dari jumlah umat manusia,
tidaklah terlibat dalam pengendalian itu.
V. Perjuangan Pembebasan Perempuan Papua
dan Perjuangan Pembebasan Nasional Rakyat Papua
Seperti yang telah diuraikan diatas,
maka berbicara mengenai pembebasan perempuan Papua tidak bisa dipisahkan dari
perjuangan pembebasan sejati rakyat Papua secara keseluruhan. Dimana
pandangan-pandangan umum yang mengeserkan posisi dan peran aktif perempuan dari
keterlibatannya dalam dunia kerja tidak hanya dialami oleh perempuan diberbagai
belahan dunia lain, perempuan Papua sebagai bagian dari golongan masyarakat di
Papua yang saat ini berada dalam penindasan Imperialisme dan Kolonialisme NKRI
juga berada pada posisi terpinggirkan dari hak-haknya.
Kenyataan ini sejatinya tidak dipahami
oleh perempuan Papua, umumnya hanya dapat menerima kondisi ini sebagai suatu
takdir yang diperuntukan secara turun-temurun, sehingga kebanyakan dari kaum
perempuan Papua selalu pasrah dan menerima apa adanya status dan kedudukannya
hanya sebagai pelengkap dan pendamping laki-laki.
Budaya pasrah dan selalu menerima
kodratnya sebagai perempuan yang hanya sekedar sebagai pelengkap bagi laki-laki
telah mendarah daging dalam diri perempuan Papua melalui ajaran-ajaran adat
juga pandangan-pandangan religius yang menengelamkan batin perempuan Papua pada
harapan-harapan subyektif akan kehidupan yang lebih baik dalam kesetaraan
didunia akhirat. Sehingga perjuangan-perjuangan kongkrit bagi pembebasan
perempuan Papua saat ini menjadi terabaikan.
Telah banyak organisasi perempuan yang
saat ini berdiri di Papua, disatu sisi banyak perempuan Papua telah dapat
berkarya dalam dunia kerja dan banyak pula perempuan Papua yang menduduki
peran-peran penting dalam birokrasi (eksekutif dan legislative), serta posisi
penting lainnya dalam dunia kerja seperti menjadi ketua partai, tapi apa dengan
demikian telah dapat membebaskan perempuan Papua secara keseluruhan? Banyak
diantara perempuan Papua yang tidak dapat menikmati pendidikan hingga jenjang
tinggi atau bahkan tertinggi sekalipun, hal ini hanya dikarenakan
pandangan-pandangan lama yang tercipta dalam masyarakat kita, yang selalu
memandang perempuan bukan sebagai penyokong/penopang keluarga, sehingga
mengakibatkan kita semakin terpinggirkan.
Pada masa kini, kita selalu mendengar
“emansipasi dan pemberdayaan perempuan dalam pembangunan” yang diturunkan
kepada perempuan Papua. Di Papua, gerakan emansipasi perempuan telah berkembang
oleh berdirinya organisasi dan kelompok-kelompok perempuan yang umumnya diikuti
oleh kaum perempuan yang berada pada kelas menengah keatas, misalnya
organisasi-organisasi yang dibentuk oleh
instansi-instansi pemerintah. Umumya mereka adalah kelompok perempuan yang
suaminya merupakan pegawai dalam instansi tersebut, dengan demikian secara
otomatis status keanggotaanya mengikuti posisi dan jabatan suaminya. Salah
satunya PKK tingkat Kabupaten, kedudukan pimpinan organisasi secara otomatis
adalah istri bupati, tanpa harus dipilih dan diangkat secara demokratis oleh
anggota, juga tanpa pernah dipertimbangkan apakah dia mampu dan berpengalaman
dalam menjalankan program-rogram organisasi atau tidak? Organisasi yang
demikian, dan berbagai organisasi lain yang dibentuk oleh lembaga-lembaga
pemerintah, agama dan lembaga-lembaga lainnya pada dasarnya berjalan mengikuti
hirarki kepemimpinan lembaganya yang didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga
pada prakteknya perempuan tetap diikat pada perannya sebagai pelengkap, tanpa
dapat mewujudkan program-program pokok bagi pembebasan perempuan untuk keluar
dari keterikatannya pada kerja-kerja domestik sebagai ibu rumah tangga ( buruh
tak berupah).
Menyadari akan pentingnya perjuangan
pembebasan perempuan Papua dari ketertindasan dan diskriminasi yang diwujudkan
dalam praktek birokrasi kapitalistik saat ini di Papua, adalah penting bagi
lahirnya kesadaran kelas perempuan Papua untuk mewujudkan kesederajatan dari peminggiran
terhadap hak-hak perempuan Papua sebagai bagian dari sektor kelas tertindas
rakyat Papua lainnya. Hal ini terlebih dahulu harus melalui investigasi dan
analisis kita yang mendalam, tepat dan jelas tentang tahapan perkembangan
masyarakat Papua, sehingga kondisi-kondisi yang memungkinkan tentang kesetaraan
hak-hak perempuan yang masih tertanam dalam masyarakat kita dapat menjadi
pijakan kita bagi perjuangan-perjuangan pembebasan perempuan Papua kedepan.
Di sinilah kita dapat menarik satu
kesimpulan: “perjuangan pembebasan perempuan Papua akan tercapai jika disatukan dengan perjuangan untuk
mencapai terciptanya Pembebasan Sejati Rakyat Papua. Dan sebaliknya, perjuangan
untuk mencapai terciptanya Pembebasan
rakyat Papua akan tercapai jika perjuangan ini menempatkan Pembebasan Perempuan
Papua sebagai salah satu tujuan utamanya”. Kedua perjuangan ini tidak
boleh dipisahkan, atau yang satu didahulukan daripada yang lain. Keduanya harus
berjalan bersamaan dan saling mengisi dengan menghilangkan pandangan-pandangan
lama, bahwa kepemimpinan politik perjuangan revolusi demokratik rakyat Papua
dapat pula dipimpin oleh kelas perempuan Papua bersama-sama sektor masyarakat
lain ; Masyarakat Adat, Tani, Buruh, Kaum Miskin Kota, dan Pemuda/Mahasiswa
yang ada di Papua saat ini.
Hanya dengan demikianlah kaum perempuan
akan dapat dikembalikan pada posisi terhormat dalam masyarakat - sejajar dengan
laki-laki dalam segala bidang kehidupan: ekonomi, sosial, politik dan budaya,
sebagai tahapan menuju terciptanya tahapan masyarakat Papua yang
Demokratis Secara Politik, Adil Secara Sosial, Sejahtera Secara Ekonomi dan
Partisipatif Secara Budaya.
Selamat Berjuang!
* * * * *
Post a Comment
Silahkan Berikan Komentar Anda Seputar Artikel - Artikel Ini di Sini !